Pernah nggak sih kamu kepikiran gimana nasib penulis di masa lalu, dibandingkan dengan penulis sekarang? Rasanya beda banget ya, apalagi kalau membandingkan penulis jaman kerajaan Majapahit dengan penulis zaman sekarang yang serba digital ini. Bayangkan, dulu jadi penulis itu kayak punya jabatan penting, sedangkan sekarang… hmm, agak beda ceritanya.
Artikel ini akan sedikit mengulik perbedaan hidup dan mati seorang penulis dari masa lampau hingga saat ini. Kita akan coba membandingkan bagaimana kehidupan mereka, posisi sosialnya, tujuan mereka menjadi penulis, dan bagaimana akhir hidup mereka dilihat oleh masyarakat.
Apakah profesi penulis dulu dan sekarang sama-sama bergengsi?
Di era kerajaan dulu, seorang pujangga atau kawi adalah sosok istimewa. Mereka bak “artis” kerajaan, memiliki bakat luar biasa dan dilatih secara turun temurun. Posisi mereka sangat terhormat, bahkan bisa dibilang elit, dekat dengan istana dan raja. Bayangkan, mereka nggak cuma sekadar menulis, tapi juga sering menjadi penasihat raja, memberikan wejangan, dan karyanya dianggap sakral, bahkan bisa jadi pedoman hidup.
Proses penulisan mereka pun nggak sembarangan. Butuh tirakat, bertapa, dan proses panjang lainnya. Mereka nggak asal nulis, lho! Sebuah karya bisa memakan waktu bertahun-tahun, karena itu adalah kitab yang akan dibaca dan dihormati selama bergenerasi.
Berbeda banget dengan sekarang. Menjadi penulis jauh lebih mudah, bahkan siapa saja bisa mengaku sebagai penulis. Teknologi percetakan yang maju, ditambah kehadiran kecerdasan buatan (AI) memudahkan penulisan. Ide dan inspirasi pun seolah tak pernah kering. Kita bisa menulis buku dengan cepat, walau belum tentu kualitasnya terjamin.
Bagaimana kehidupan seorang penulis di masa lalu dan sekarang?
Pujangga kerajaan hidup makmur. Mereka dijamin kesejahteraannya oleh raja, mendapatkan fasilitas, dan pangkat. Mereka fokus berkarya karena kebutuhan hidup sudah terpenuhi. Bayangkan, kerjaan mereka adalah membuat karya sastra, dibayar mahal pula! Posisi mereka mirip seperti “influencer” kerajaan, dihormati dan karya-karyanya dinanti.
Nah, kalau penulis sekarang? Realitanya agak berbeda. Banyak penulis yang harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Honor yang didapat seringkali tak sebanding dengan jerih payah mereka. Bahkan, profesi penulis seringkali kurang dipahami masyarakat. Ada yang bilang, “Penulis? Kerjanya ngetik di balai desa?” Miris, ya!
Penulis hebat seperti Ernest Hemingway pernah bilang, kesejahteraan dan kesehatan sangat penting untuk menulis. Penulis yang hidup nyaman dan berkecukupan tentu lebih mudah berkarya dibandingkan penulis yang selalu bergelut dengan masalah ekonomi. Tapi, ingat, kualitas karya tak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan penulis. Ada penulis yang hidup susah tapi menghasilkan karya luar biasa, begitu pula sebaliknya.
Lalu, bagaimana akhir hidup seorang penulis?
Kematian seorang pujangga kerajaan tentu dirayakan dengan upacara penghormatan. Namanya akan dikenang dalam sejarah sebagai sosok yang berjasa. Karyanya akan terus dibaca dan diwariskan ke generasi berikutnya.
Sementara itu, kematian penulis zaman sekarang seringkali biasa saja. Tak ada upacara khusus, mereka pergi tanpa meninggalkan jejak yang begitu monumental bagi masyarakat. Namun, sama seperti para pujangga, jika karya-karyanya terus dibaca dan dihargai, maka nama dan pikiran mereka akan tetap hidup sepanjang masa. Pramoedya Ananta Toer pernah bilang, menulis itu membuat kita abadi. Meskipun ada teori yang mengatakan karya melepaskan diri dari pengarangnya, tetap saja, jika karya terus dibaca, pengarang akan tetap dikenang.
Kesimpulannya, perjalanan hidup dan akhir hidup seorang penulis dari masa ke masa sangat berbeda. Namun, satu hal yang tetap sama adalah warisan karya-karyanya yang akan terus hidup selama masih dibaca dan dihargai oleh pembaca.