Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
ArtikelBlog

Menjelajah Puisi: Lebih dari Sekadar Kata-Kata

21
×

Menjelajah Puisi: Lebih dari Sekadar Kata-Kata

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Berbicara tentang puisi, selalu ada rasa penasaran yang menggelitik. Bukan hanya sekedar membaca untaian kata, tapi juga merasakan, memahami, dan bahkan berdialog dengan sang penyair melalui karyanya. Buku “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” karya Arief Budiman, memberikan perspektif menarik tentang hal ini: hubungan erat antara pembaca dan puisi menjadi kunci utama dalam menikmati sajak. Bukan sekedar soal persahabatan dengan penyairnya, melainkan kedekatan dengan karya itu sendiri.

Semakin akrab kita dengan puisi, semakin mudah pula untuk memahaminya. Namun, kedekatan ini bukan hanya soal tema atau premisnya saja, melainkan juga bagaimana puisi tersebut disajikan. Bukan tentang menilai baik-buruknya, melainkan bagaimana puisi itu mengupayakan pemahaman dan apresiasi dari pembacanya.

Example 300x600

Apa yang Membuat Sebuah Buku Puisi Menjadi Menarik?

Pengalaman membaca buku puisi terbaru, “Yang Tidak Mereka Bicarakan Ketika Mereka Berbicara tentang Cinta” (YTMBKMBtC), mengajak saya merenung lebih dalam. Sang penyair sendiri yang meminta saya untuk memberikan komentar atau apresiasi. Tantangannya? Waktu dan kesibukan pekerjaan. Tapi persahabatan kami membuat saya tetap berusaha, meskipun hubungan kami tidak transaksional. Ada sedikit cerita lucu di balik pembelian buku ini: saya membelinya dengan uang dari majalah yang saya kelola bersama sang penyair, yang mana majalah itu juga dibaca oleh teman-teman kami. Ironis sekaligus menggelitik.

Awalnya, saya ingin memberi judul ulasan ini “Dari yang Fisik ke yang Puitik”. Ide utamanya tetap sama: bagaimana aspek fisik buku mempengaruhi pengalaman puitik. Penyair, penerbit, dan ilustrator ingin menghadirkan buku yang bukan hanya dinikmati lewat mata dan telinga, tetapi juga lewat sentuhan dan aroma. Bayangkan, andai bisa dijilat, mungkin mereka akan melakukannya juga! Pemilihan kertas, bentuk buku, tipografi – semuanya dirancang untuk membentuk pemahaman dan makna tertentu.

Apakah Aspek Fisik Buku Puisi Penting?

Pertanyaannya, apakah upaya tersebut berhasil? Secara pribadi, saya merasa efek tekstur kertas dan aroma buku kurang terasa. Bentuk sampul yang unik malah sedikit menyulitkan saya saat membaca santai. Namun, sebagai pembaca, saya juga curiga: mungkin ini justru bagian dari “pertunjukannya”! Ada kemungkinan kesan kurangnya kepekaan saya terhadap tekstur dan aroma buku disebabkan oleh kebiasaan menggunakan gawai. Mungkin pula polusi udara yang mengurangi sensitivitas penciuman saya.

Bisa jadi, ketidaknyamanan yang saya rasakan saat memegang buku adalah bagian dari pesan yang ingin disampaikan. Sebuah refleksi tentang keseimbangan antara liburan dan pekerjaan, tentang bagaimana kapitalisme membentuk kehidupan kita. Mungkin juga, ketidaknyamanan tersebut merupakan bagian dari pengalaman estetis yang disengaja oleh penulis.

Bagaimana Pengalaman Pribadi Mempengaruhi Penafsiran Puisi?

Saya merasa lebih dekat dengan puisi-puisi yang bermuatan sejarah dan mitos, baik lokal maupun global. Meskipun tak sepenuhnya paham, saya bisa merasakan dan terdorong untuk menelusuri simbol-simbol di dalamnya. Sebaliknya, puisi tanpa akar sejarah atau mitos, terasa kurang memikat bagi saya. Namun, secara keseluruhan, struktur buku ini menciptakan efek unik. Perjalanan dari asal-usul ke tempat yang asing, dengan sejarah dan mitos sebagai pijakan, beban, sekaligus luka.

Kota direka dari tubuh sejarah yang luka, begitulah salah satu puisi dalam buku ini menggambarkan. Kisah-kisah seperti Tan Malaka, Siti Fatimah, dan Tan Bun An, serta catatan kampung halaman sang penyair menjadi titik berpijak dalam perjalanan sang aku-lirik. Seperti pejalan kebanyakan, aku-lirik dalam puisi ini juga mendambakan kebahagiaan, meskipun menyadari “kutukan bagi yang hidup”. Dan seperti karya-karya sang penyair sebelumnya, kesedihan tetap menjadi tema sentral. Namun, aku-lirik tidak menyerah, dan mungkin memang tidak akan pernah menyerah.

Kesimpulannya, membaca puisi adalah pengalaman yang multi-sensorik. Bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga tentang bagaimana karya tersebut hadir dalam wujud fisiknya, dan bagaimana pengalaman pribadi kita sebagai pembaca ikut mewarnai interpretasi kita terhadap sajak-sajak yang kita baca.

Sumber : https://ketiketik.com/apa-apa-yang-coba-dicari-ketika-membaca-sebuah-buku-puisi/

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *