Psikolog Carl Gustav Jung menyebut “persona” sebagai topeng sosial yang kita kenakan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Di era digital, persona ini semakin kompleks dan nyata. Dulu, kita menampilkan persona secara langsung; sekarang, media baru memungkinkan kita menciptakan persona digital yang bisa berbeda jauh dengan diri kita sebenarnya.
Media baru, dengan kemampuan digitalisasi dan aksesibilitasnya yang luas, memungkinkan kita menampilkan diri kapan pun dan di mana pun. Bayangkan, kita tak perlu lagi bertemu langsung untuk menunjukkan sisi tertentu dari diri kita. Kita bisa memilih menampilkan sisi profesional di LinkedIn, sisi kreatif di Instagram, atau bahkan sepenuhnya anonim di beberapa platform lain.
Apakah Media Sosial Membangun atau Meruntuhkan Identitas Kita?
Platform media sosial menjadi panggung utama bagi persona digital kita. Kita bisa memilih ingin dikenal sebagai siapa: profesional, kasual, atau bahkan alter ego. Namun, muncul pertanyaan: apakah ini membantu kita membangun identitas yang kuat, atau justru menciptakan identitas semu yang jauh dari jati diri kita?
Membangun persona di media sosial memang bertujuan untuk beradaptasi, entah untuk mencari pekerjaan, pasangan, atau sekadar meningkatkan popularitas. Namun, jika kita terlalu fokus pada citra digital dan mengejar validasi dari orang lain tanpa memahami diri sendiri, kita bisa berisiko mengalami alienasi – keterasingan dari diri sendiri.
Bagaimana Media Sosial Bisa Membuat Kita Merasa Terasing?
Alienasi, awalnya dikaitkan dengan sistem kapitalis dan eksploitasi buruh, kini bisa dipahami juga dalam konteks hubungan kita dengan dunia maya. Kita terhubung dengan banyak orang melalui media sosial, tapi apakah koneksi ini benar-benar membangun hubungan yang berarti, atau malah menciptakan jarak antara diri kita dengan realita dan diri kita sendiri?
Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulakra dan simulasi, mengemukakan bahwa dunia yang kita lihat di media sosial seringkali hanyalah simulasi, citra kosong tanpa makna yang mendalam. Hal ini bisa memperburuk perasaan terasing. Kita sibuk membangun persona digital yang sempurna, sampai lupa siapa diri kita sebenarnya di luar dunia maya.
Rene Descartes pernah berkata, “Cogito, ergo sum” – aku berpikir, maka aku ada. Namun, di era media sosial, tampaknya ungkapan ini berubah menjadi “Aku bermedia sosial, maka aku ada”. Keberadaan kita seolah diukur dari seberapa aktif dan “sempurna” persona digital kita.
Akankah Kita Kehilangan Diri Kita Sendiri di Balik Persona Digital?
Membangun persona di media sosial bukanlah hal yang buruk. Justru, kemampuan beradaptasi itu penting. Namun, penting untuk menjaga keseimbangan. Jangan sampai kita terjebak dalam permainan citra digital, sampai melupakan diri kita yang sebenarnya. Ingatlah bahwa keaslian dan penerimaan diri adalah kunci kebahagiaan sejati.
Perlu disadari bahwa media sosial hanyalah salah satu aspek kehidupan. Jangan sampai upaya untuk membangun persona digital yang sempurna malah membuat kita kehilangan diri sendiri di dunia nyata. Bersikaplah bijak dalam menggunakan media sosial, dan jangan lupa untuk selalu introspeksi dan mencari koneksi yang bermakna, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Mencari validasi dari dunia maya boleh saja, tetapi jangan sampai hal itu menggantikan kebahagiaan dan kepuasan sejati yang berasal dari dalam diri. Jagalah keseimbangan antara persona digital dan jati diri Anda yang sebenarnya. Ingatlah, Anda jauh lebih berharga daripada sekadar citra yang ditampilkan di media sosial.
Menciptakan persona yang menarik di media sosial bisa menjadi alat yang efektif, tetapi jangan sampai permainan peran ini membuat Anda kehilangan siapa Anda sebenarnya. Keaslian dan penerimaan diri adalah kunci untuk hidup yang lebih bahagia dan bermakna.
Catatan: Artikel ini membahas tentang fenomena persona di era digital, dengan mengacu pada teori-teori psikologi dan sosiologi. Penulis tidak bermaksud untuk menghakimi atau menyalahkan pengguna media sosial, tetapi hanya ingin memberikan perspektif tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata.
Sumber : https://ketiketik.com/persona-media-baru-alienasi-dan-manifestasi-topeng-sosial-yang-digunakan/